
Diskusi kultural kali ini diselenggarakan atas kerjasama Tim Kebijakan HIV & AIDS PKMK FK UGM dengan Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) dengan tema “Kekerasan Terhadap Perempuan dengan HIV dan AIDS”. Diskusi diselenggarakan pada hari Sabtu, 27 Agustus 2016 di Java Tea House yang dihadiri oleh peserta dari unsur LSM(Lembaga Swadaya Masyarakat), Dinkes, KPAK Sleman, serta perwakilan dari OBK(Organisasi Berbasis Komunitas) Waria, PWID dan WPS (Wanita Pekerja Seks). Dua narasumber yang menjadi pemantik diskusi pada pertemuan kali ini adalah Nurhayati dari IPPI dan Gambit dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM.
Diskusi diawali dengan pemaparan dari IPPI tentang dokumentasi jenis-jenis kekerasan yang dialami oleh perempuan dengan HIV dan AIDS (PDHA). Untuk mengantarkan pemaparannya, disampaikan bahwa IPPI terbentuk karena adanya permasalahan yang cukup kompleks yang dialami oleh PDHA. Misal, adanya ketakutan atau kekhawatiran dari perempuan yang berstatus positif HIV untuk mempunyai anak dan masih adanya stigma ganda terutama pada perempuan pengguna napza dan WPS. Lemahnya posisi tawar PDHA menjadikan semakin kuat ketergantungannya pada pacar, suami, dan keluarga. Selain itu, oleh karena statusnya seringkali menjadi persoalan tersendiri atas hak asuh anaknya.
Beberapa intervensi untuk menyasar persoalan-persoalan yang dialami oleh PDHA telah dilakukan, misal adanya PMTCT -setelah terjadi kehamilan- dan PPCTC bagi PDHA yang belum hamil. Selain itu, adanya sosialisasi tentang hak PDHA untuk mempunyai anak, untuk mendapatkan penghasilan yang cukup, mendapatkan pendampingan dari konselor khusus perempuan, serta kesejahteraan bagi anak PDHA. Dari dokumentasi yang dilakukan oleh IPPI hasil penelitian kualitatif mengenai kekerasan terhadap PDHA di 8 kota, salah satunya Yogyakarta, kekerasan yang terjadi berupa kekerasan psikis, ekonomi, sosial dan seksual. Tujuan dari pendokumentasian ini adalah untuk mencatat secara sistematis kasus kekerasan yang dialami oleh PDHA, mengidentifikasi sejauh mana perempuan mendefinisikan kasus kekerasan yang ada di Indonesia, menggali faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan, serta untuk mengetahui sejauh mana PDHA mengalami kekerasan karena statusnya, termasuk juga kerugian yang dialaminya, karakteristik sosialnya, dan upaya pemecahan masalahnya selama ini. Data yang diperoleh dari temuan kasus tersebut, persentase kasus kekerasan fisik sebesar 24,9%, kekerasan seksual sebesar 28,9%, kekerasan psikis sebesar 29,7%, kekerasan ekonomi sebesar 30,2%, kasus diskriminasi karena berstatus HIV sebesar 28,7%, dan kasus sterilisasi sebesar 13,5%.
Narasumber kedua (Gambit) menyampaikan hasil penelitian yang dilakukan oleh PPH Atma Jaya bekerja sama dengan IPPI dengan tema kekerasan terhadap PDHA dan integrasinya ke dalam layanan kekerasan perempuan. Penelitian ini dilakukan di 2 kota yaitu di Medan dan Jakarta, sebagai lokasi pilot projek upaya integrasi layanan HIV dan AIDS dengan layanan kekerasan terhadap perempuan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa sejauh ini penyedia layanan HIV masih terfokus pada pelayanan HIVnya saja, belum ada layanan yang diperuntukkan bagi kekerasan yang dialami oleh pasien tersebut. Demikian juga untuk layanan korban kekerasan, belum ada upaya memasukkan isu HIV di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa di tingkat penyediaan layanan belum ada integrasi antara layanan HIV dengan layanan kekerasan yang dialami oleh PDHA.
Di awal pemaparannya, dijelaskan bahwa kekerasan merupakan faktor risiko tertular HIV. Tetapi bisa juga bahwa HIV merupakan faktor risiko terjadinya kekerasan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa tak jarang kekerasan pernah terjadi di dalam rentang waktu kehidupan seseorang, misalnya dialami pada masa kanak-kanak, pada saat remaja, dll. Oleh karena itu, penanganan kasus kekerasan terhadap PDHA perlu disesuaikan dengan tahapan hidup korban. Selain itu, respon terhadap kekerasan perlu memperhatikan kebutuhan layanan kekerasan dan konsekuensi atas terjadinya kekerasan tersebut. Tak jauh berbeda dengan yang telah disampaikan oleh IPPI bahwa kekerasan yang terjadi meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Jika dilihat dari jenis dan frekuensi terjadinya kekerasan, kekerasan justru berasal dari ranah rumah tangga. Meski demikian, ternyata kekerasan juga terjadi di layanan kesehatan bukan di ranah publik. Hal ini bisa terjadi oleh karena pasien mau tidak mau harus membuka statusnya di layanan kesehatan.
Sehubungan dengan persoalan kekerasan yang terjadi pada PDHA, perlu adanya integrasi antara layanan HIV dan layanan bagi korban kekerasan. Hal ini memungkinkan untuk dilakukan, tetapi tentu saja memerlukan prosedur dan mekanisme tertentu sesuai dengan tupoksi lembaganya masing-masing. Bentuk integrasi secara struktural yang mungkin untuk dilakukan berupa layanan satu atap, supaya ketika membangun jejaring diikat oleh sistem tertentu. Namun demikian, masih ada problematika yang muncul, yaitu dalam hal koordinasi, integrasi dan kepentingan dari lembaga masing-masing. Upaya yang penting dilakukan untuk menghindari terjadinya kekerasan yaitu perlu ada kesesuaian antara PDHA dengan layanan yang tersedia. Selain itu, korban juga harus berdaya.
Rekomendasi yang disampaikan dari penelitian ini antara lain perlunya membangun social capital -tidak hanya berfokus pada korbannya saja-, perlunya mendengar pengalaman kekerasan, peran support grup tidak hanya berfokus pada ketaatan berobat saja, tetapi mendiskusikan juga pengalaman kekerasan yang dialami oleh para korban agar bisa saling menguatkan. Hal ini memungkinkan terjadinya proses trauma healing.
Beberapa tanggapan muncul dari para peserta diskusi kultural kali ini atas dua paparan yang disampaikan. Pak Mul dari KPA Sleman menyatakan bahwa di Sleman trend kasus HIV semakin meningkat, namun dirasakan bahwa geliat dari organisasi perempuan belum seperti yang diharapkan : bahaya HIV dan AIDS bagi perempuan. Dari fakta yang ada, PDHA cenderung yang disalahkan. Menanggapi hal ini, narasumber menyatakan bahwa ada upaya konkrit yang sebenarnya bisa dilakukan oleh KPA untuk menanggapi masalah ini. KPA bisa mulai mendiskusikan perihal ini dengan pihak P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) untuk memasukkan isu HIV ke dalam layanan korban kekerasan pada perempuan. Misalnya dengan menambahkan beberapa pertanyaan di dalam formulir assessment penanganan korban kekerasan, apakah korban mengalami kekerasan seksual atau tidak. Jika jawabannya pernah, maka perlu untuk dirujuk tes IMS. Selain itu, KPA bisa mulai mengembangkan media KIE dengan muatan bahwa kekerasan bisa menjadi faktor risiko tertular HIV dan sasarannya ke masyarakat luas.
Tanggapan lainnya disampaikan oleh Wuri dari PKBI DIY bahwa diskusi tentang sinergitas layanan di Yogyakarta sudah pernah didiskusikan –sejak SPAY- dan masih menjadi PR. Adanya diskusi kultural ini sekaligus menjadi pengingat untuk penyelesaian pekerjaan rumah tersebut. Wuri menyatakan bahwa adanya integrasi layanan ini penting dilakukan, untuk itu diharapkan hasil penelitian ini dapat didiseminasikan ke forum yang lebih luas terkait dengan sinergitas layanan yang ada di Yogyakarta. Hal ini perlu untuk didiskusikan dengan pihak KPA DIY. Di internal PKBI DIY sendiri semestinya SOP layanan di PKBI perlu untuk ditindaklanjuti agar ada integrasi layanan. Hal serupa juga dilontarkan oleh peserta dari Samsara, bahwa dari hasil penelitian ini membuat mereka untuk kemudian berpikir ulang mengenai layanan yang selama ini telah mereka lakukan. Menurutnya penting untuk menggali lebih dalam mengenai isu HIV kepada klien KTD yang sedang didampinginya pada saat konseling. Sementara ini mungkin baru sebatas itu. Oleh karena upaya integrasi dengan pihak layanan masih dirasakan kesulitan.
Di akhir diskusi dibahas juga mengenai kekerasan pada WPS yang dilakukan oleh mucikarinya. Misal adanya denda sebesar Rp 200.000,- per jam yang diterapkan oleh mucikari jika ia terlambat kembali ke lokasi karena harus mengakses layanan kesehatan atau untuk keperluan lainnya. Menanggapi hal ini, Gambit menyatakan bahwa pendekatan perlu dilakukan kepada mucikari dan WPS dengan menekankan pada pentingnya perawatan HIV dan apa untung ruginya (untung secara ekonomis). Jadi bukan dari sisi akan menghambat akses ke layanan. Diskusi mengenai hal ini mengerucut bahwa ada perbedaan yang cukup mendasar antara kekerasan personal dengan kekerasan yang dilakukan oleh negara. Terkait dengan isu sterilisasi pada PDHA, perlu dicermati lagi karena cerita ini sudah ada sejak tahun 2012 dan sudah dilaporkan. Kemudian isu ini muncul lagi di tahun 2016. Pertanyaannya adalah apakah kasus ini merupakan kasus yang sama atau kasus baru yang terjadi lagi? Jika merupakan kasus baru yang terjadi lagi, bukankah hal ini merupakan kegagalan dari upaya IPPI dalam advokasinya?
Di akhir diskusi kultural disepakati untuk penyelenggaraan diskusi kultural bulan September akan diselenggarakan oleh Positif Hope Yogyakarta, bulan Oktober oleh ARMED dan di bulan November oleh OPSI Yogyakarta.